Para "artis" Citayam Fashion Week, harus berterima kasih kepada mereka yang pertama memviralkan aktifitas mereka di kawasan Jalan Jenderal Sudirman Dukuh Atas Jakarta. Diantara mereka yang viral di medsos, terutama Tik Tok, adalah Jeje Seblew, Roy, Bonge, Kurma dan John. Wajah mereka saat ini sering muncul, tidak hanya di medsos, tapi juga di media mainstream televisi nasional terutama pada acara infotainment.
Betapa praktisnya saat ini orang yang ingin populer. Bikin konten yang aneh-aneh, posting di medsos, lalu banyak yang like dan share, ya sudah ia akan viral dan pundi-pundi cuan akan ia dapat. Makanya logis, jika Roy menolak tawaran menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno untuk dikasih beasiswa sekolah.
Dalam pikiran sederhana Roy dan teman-temannya di komunitas Citayam Fashion Week adalah jika mereka sekolah dan punya ijazah nggak ada jaminan ia akan menghasilkan uang seperti yang ia dapat saat ini dari hasil ngonten di medsos.
Tentu kita faham bahwa memang dunia mereka adalah dunia pragmatis yang tidak begitu peduli dengan hal-hal formal prosedural yang sarat nilai. Karena, terkadang yang ada di kehidupan nyata adalah, ideal-ideal formal prosedural tersebut hanya berhenti di atas kertas tidak diterapkan dalam kehidupan nyata. Ini barangkali secara analisis sosial pragmatis yang jadi pertimbangan Roy dan kawan-kawan menolak tawaran beasiswa pendidikan tersebut.
Para ABG ini berasal dari beberapa daerah penyangga ibukota seperti Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Mereka berkumpul dan nongkrong-nongkrong untuk mengisi waktu mereka.
Mereka hadir di tempat itu dengan beragam gaya busana yang tentunya sesuai dengan kemampuan kantong yang mereka punya. Jangan kita bayangkan harga pakaian yang dipakai semahal busana Luna Maya misalnya. Atau Raffi Ahmad sang sultan Andara. Atau mungkin semahal produk-produk fashion yang ada di mall-mall di Jakarta.
Pakaian yang dipakai mereka adalah pakaian yang biasa, tapi karena dikenakan dalam konteks nongkrong-nongkrong, atau gagayaan, pastilah mereka berusaha semenarik mungkin dengan meniru gaya busana idola mereka di medsos.
Konon, fenomena Citayam Fashion Week pernah terjadi juga di Jepang. Adalah Jalan Harakuju yang menjadi pusat kumpul-kumpul para ABG disana.
Setelah komunitasnya semakin banyak, kemudian menarik perhatian masyarakat daerah sekitar Harakuju Street. Oleh para akademisi dan mahasiswa fashion, aksi-aksi ABG di Harakuju Street ini sering dijadikan objek penelitian. Gaya busananya juga pelajari dan dimodifikasi sehingga menjadi tren baru.
Harakuju Street saat ini sering menjadi destinasi para turis yang datang ke Jepang, terutama yang tertarik terhadap fashion.
Sama halnya dengan Citayam Fashion Week, setelah disorot oleh media asing dari Jepang, "Tokyo Fashion", beritanya langsung mendunia dan menjadi pusat perhatian para selebriti untuk membuat konten di Citayam. Dari Baim Wong, Paula Verhoven, Ria Ricis, Atta Halilintar dan banyak lagi youtuber papan atas yang memanfaatkan fenomena Citayam Fashion Week untuk membuat konten.
Di titik ini, para youtuber kondang tersebut harus berterima kasih kepada artis-artis Citayam ini. Ada hubungan saling menguntungkan diantara mereka.
Sebagai sebuah fenomena sosial, maka banyak hal yang bisa dikupas dari fenomena Citayam Fashion Week ini.
Dalam benak praktisi pendidikan, tentu yang terbayang pertama adalah bagaimana pendidikan mereka.
Para ABG yang tentunya masih dalam usia sekolah, sekolahnya bagaimana, jangan-jangan mereka pada bolos sekolah atau bahkan drop out sekolahnya.
Para pemerhati sosialpun khawatir kegiatan nongkrong-nongkrong mereka akan berpengaruh negatif bagi kehidupan mereka. Hal ini karena mereka begitu bebas berkumpul, nongkrong-nongkrong mojok berpacaran, inilah yang dikhawatirkan menimbulkan pergaulan bebas diantara mereka.
Inilah beberapa pertanyaan dan kekhawatiran yang muncul dari fenomena Citayam Fashion Week ini. Yang pasti kita berharap semoga mereka yang aktif terlibat di Citayam Fashion Week tidak tergelincir dalam hedonisme pergaulan akibat ketiban untung dari medsos.
Untuk para pemangku kebijakan, baiknya segera ditindaklanjuti fenomena ini. Tentunya dengan memperhatikan sisi positif dan negatifnya.
Para ABG ini adalah bagian dari anak bangsa ini yang harus terus dibimbing dan dilindungi.
Tiba-tiba muncul pertanyaan, "Bagaimana kurikulum merdeka menanggapi fenomena Citayam Fashion Week ini?"
Ada-ada aja...
Bandung, 24 Juli 2022
#catatan abwah
Dari sisi moral anak-anak itu punya kreasi yang luar biasa. Harusnya kelompok anak-anak itu yang harus dilibatkan sebagai pihak yang menginisiasi dan harusnya berhak atas ini ."Kami komunitas slebe2 ngerasa dirugikan pak. Karena kami bela-belain dari Citayem nggak mandi, gak gosok gigi karena itulah ciri khas kami. Tolong jangan dirubah..slebew,"
BalasHapusSeiring berjalannya waktu aktivitas yang mereka lakukan mengundang keramaian. Disamping menganggu kelancaran lalu lintas juga berpotensi menganggu ketertiban umum. Ini tentunya melanggar aturan Undang-Undang Lalu lintas dan Angkutan Jalan salah satunya termasuk ketertiban umum
BalasHapusfenomena ini seharusnya mendorong pemerintah kota dan kabupaten di wilayah Jabodetabek, termasuk Citayam, Bojong Gede dan Depok, untuk menyediakan ruang-ruang publik atau taman kota yang menarik, terbuka untuk berbagai kegiatan anak muda, gratis, dan strategis
Saya setuju dengan yang dikatakan bapa, bahwanya ABG yang nongkrong di SCBD harus diberikan bimbingan dalam menyalurkan apa yang mereka suka dengan cara yang lebih baik.
BalasHapusSiiip..
HapusMenurut saya, harus ada orang dewasa yang mengarahkan dan mengatur beberapa remaja di Citayam agar tidak terlarut ke dalam kegiatan yang negatif nantinya
BalasHapusPerihal fenomena citayam fashion week, tentunya dalam kegiatan tersebut terdapat hal positif dan negatif, karena itu saya setuju seharusnya ada pihak pemerintah yang bisa mengelola kegiatan tersebut supaya bisa termanfaatkan dengan baik dan tidak mengarah ke arah hal negatif.
BalasHapusSemoga semua aman-aman saja, dan dijauhkan dari hal negatif, untuk Indonesia sejahtera.
Mungkin mereka yang mengikuti Citayam Fasion Week seharusnya mendapat pendidikan. Tidak usah yang formal, yang biasanya dilakukan pelajar pelajar Indonesia. Mungkin mereka bisa mendapatkan pedidikan tentang akhlak/perilaku dan mungkin pendidikan tentang cara mengatur keuangan atau bisnis, atau mungkin tentang membuat konten yang dapat menghasilian pundi pundi uang lebih banyak.
BalasHapusKarena mereka yang mengikuti Citayam Fasion Week ini bisa saja mendapatkan uang yang banyak. Jadi mereka bisa mengatur keuangannya seperti ditabung untuk modal bisnis.
Pikir mereka “sekolah dan ijazah nggak ada jaminan ia akan menghasilkan uang seperti yang ia dapat saat ini dari hasil ngonten di medsos.” Mungkin dengan belajar cara mengatur keuangan dan bisnis mereka bisa menghasilkan uang ketika konten mereka tidak laku atau sudah tidak populer dan mereka bisa membuka lapangan pekerjaan saat membuka bisnis tersebut dan dengan belajar akhlak/perilaku mereka bisa menjadi pembisnis yang berakhlak mulia.