Gambaran cinta yang murni ada pada cinta orang tua kepada anaknya, setelah cinta Allah swt. kepada mahluknya. Betapa orang tua tanpa pamrih, berbuat, bertindak dan berkorban demi kebahagiaan anaknya tercinta. Itulah cinta yang suci.
Rumi dalam syairnya pernah berkata;
"Cinta itu ibarat sholat, keduanya batal tanpa kesucian." Cinta dan kasih sayang orang tua tidak pernah batal, karena kesucian yang mendasarinya.
Dalam dunia sufi dikisahkan. Seorang pemuda datang kepada guru sufi.
Demikian dialognya:
Pemuda: "wahai guru, aku ingin menjadi seorang sufi."
Guru sufi: "Kamu sudah menikah belum?"
Pemuda: "Belum."
Guru sufi: "Pulanglah dan menikahlah lebih dahulu, belajarlah mencintai,"
Sebuah dialog yang menarik. Melahirkan pertanyaan besar, mengapa harus mencintai yang menjadi syaratnya. Karena memang inti ajaran sufi adalah mencintai. Mencintai Allah swt. dan mahlukNYA.
Imam Junaid Al-Baghdadi pernah berkata, "Seorang sufi itu ibarat bumi, diinjak, dikotori oleh manusia, namun ia tetap memberi segala yang dibutuhkan manusia."
"Ibarat mendung ia menaungi semuanya, tidak pilah pilih."
Itulah cinta yang sejati. Ia memberi tanpa mengharap dibalas kembali. Ia melindungi siapapun tanpa pandang bulu. Orang yang menyukai ataupun orang yang membencinya. Ia lakukan tanpa pamrih. Yang ia pikirkan adalah yang ia cintai.
♡ Dengan mencintai seseorang belajar ikhlas. Yang ia perbuat hanyalah untuk yang ia cintai.
♡ Dengan mencintai orang belajar menghilangkan egoisme. Ia hanya mementingkan yang ia cintai. Bahkan dirinya sendiri dikesampingkan, ia lebih mengutamakan sang pujaan hati.
♡ Dengan mencintai orang belajar empati dan peduli. Ia berusaha berempati dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang dicintainya. Selanjutnya ia berbuat sesuatu untuk yang dicintainya tersebut.
Sungguh sebuah relasi yang indah. Relasi cinta adalah puncak kebajikan. Relasi dalam level apapun, sosial, profesional apalagi personal. Jika didasari cinta maka tidak akan pernah ada pihak yang tersakiti dan menyakiti. Tidak ada pihak yang tega melihat penderitaan orang lain.
Ada sepenggal kisah dalam roman Layla Majnun karya Nizami Ganjavi.
"Suatu ketika Qais sakit. Oleh keluarganya Qais dibawa ke dokter (tabib). Ia menolak untuk diobati. Namun keluarganya memaksanya untuk berobat ke seorang tabib. Setelah diperiksa, tabib memutuskan bahwa Qais harus menjalani operasi, ada bagian tubuhnya yang harus dibedah."
Mendengar keputusan tabib yang akan membedah bagian tubuhnya, Qais menolak keras. Tabib merasa heran, kenapa Qais takut untuk dibedah, padahal selama ini ia hidup menggelandang seperti orang gila, mengembara ke padang pasir dan semak belukar, bergaul dengan binatang buas, sudah terbiasa dengan rasa sakit, lapar dan penderitaan lainnya.
Tabib kemudian bertanya, "Qais, mengapa kamu takut untuk dibedah wahai majnun?"
Qais menjawab, "Saya khawatir Layla merasa sakit."
Tabib semakin heran, "kamu ini memang gila, yang dibedah itu tubuhmu bukan tubuh Layla."
Qais menjelaskan, "Saya takut Layla tersakiti saat aku dibedah, sebab dalam setiap bagian tubuhku dan dalam aliran darahku ada Layla disana."
"Jika aku terluka, maka ia yang aku cintai juga terluka."
"Jika aku sakit, maka ia yang mencintaiku juga akan merasakan sakit."
Demikianlah gambaran relasi cinta. Relasi yang tertinggi dalam kehidupan manusia. Ia yang mencintai, maka dalam desahan nafas dan tarikan suaranya selalu ada dan menyebut ia yang dicintai.
Kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya menjadikan ia selalu sayang terhadap pancaran dan ciptaan Tuhan.
Ketika kita meyakini bahwa alam semesta ini adalah ciptaan dan manifestasiNYA, maka ia pasti mencintai, menyayangi dan tidak akan pernah menyakiti mahluk tersebut.
Sebab, saat ia mencintai mahlukNYA, hakikatnya ia mencintai Allah swt. Sang Pencipta mahluk tersebut.
Dalam syair yang lain Rumi berkata:
"Aku ingin melihat wajah-Mu pada sebatang pohon, pada matahari pagi, dan pada langit yang tanpa warna."
Tuhan ada dimana-mana. Dalam setiap bagian semesta ini ada Tuhan. Dalam setiap ciptaanNYA disitu eksistensi Tuhan
Ibn Athoillah juga pernah menyatakan:
"Jika seorang hamba belum bisa merasakan kehadiran Allah saat melihat alam ini, maka ini menunjukan ia belum dapat cahaya-NYA."
Cahaya Tuhan itu adalah cinta.
Tertunduk wajahku dan teringat tatapan mata tulus ema dan bapa, yang menerangi dengan teduh perjalananku selama ini.
Robighfirli wali walidaya warhamhuma kama robayani shoghiro. Aamiin
# catatan abwah
Tulisan yang bagus, menyentuh.Mengingatkan diri tentang cinta kepada Illahi dan orang- orang yang dicintai.
BalasHapusLuar biasa, lanjutkan seperti biasa
BalasHapusKecintaan seorang hamba kepada Tuhannya menjadikan ia selalu sayang terhadap pancaran dan ciptaan Tuhan.
BalasHapusAamiin
Hapusorang tua selalu mencintai dengan tulus
BalasHapusSemoga orang tuaku diberi am pun an Allah
BalasHapusAamiin
BalasHapusAamiin
Hapussemoga kita bisa menjadi pecinta
BalasHapus