Sebagian orang menganggap bahwa tawakal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekali. Contohnya dapat kita lihat pada sebagian pelajar yang keesokan harinya akan melaksanakan ujian. Pada malam harinya, sebagian dari mereka tidak sibuk untuk menyiapkan diri untuk menghadapi ujian besok namun malah sibuk dengan main game atau hal yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka mengatakan, “Saya pasrah saja, paling besok ada keajaiban.”
Tawakal yang Sebenarnya
Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul Ulum wal Hikam tatkala menjelaskan hadits
no. 49 mengatakan, “Tawakal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘azza wa jalla untuk meraih berbagai kemaslahatan
dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan
semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan
mendatangkan manfaat kecuali Allah semata‘.”
Tawakal Bukan Hanya Pasrah
Perlu diketahui bahwa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya
hati kepada Allah semata, namun juga disertai dengan melakukan usaha.
Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan
tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan.
Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga
memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan
kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya.
Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, ambillah sikap waspada.”
(QS. An Nisa [4]: 71).
Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al
Anfaal [8]: 60).
Juga firman-Nya (yang artinya), “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah” (QS. Al Jumu’ah [62]: 10).
Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk
melakukan usaha.
Sahl At Tusturi mengatakan, “Barang siapa
mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan -pen).
Barang siapa mencela tawakal (tidak mau bersandar pada Allah, pen) maka dia
telah meninggalkan keimanan. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam)
Burung Saja Melakukan Usaha
untuk Bisa Kenyang
Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah
akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung
tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya
dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim.
Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.
310)
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang
yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku datang kepadaku.”
Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda, “Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.”
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa
burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka
mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al
Bukhari, 23/68-69, Maktabah Syamilah)
Al Munawi juga mengatakan, “Burung itu pergi
pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang.
Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rezeki, yang memberi rezeki
adalah Allah ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa
tawakal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai
sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja
mendapatkan rezeki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk
mencari rezeki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi
Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Maktabah Syamilah)
Tawakal yang Termasuk Syirik
Setelah kita mengetahui pentingnya melakukan
usaha, hendaknya setiap hamba tidak bergantung pada sebab yang telah dilakukan.
Karena yang dapat mendatangkan rezeki, mendatangkan manfaat dan menolak
bahaya bukanlah sebab tersebut tetapi Allah ta’ala semata.
Imam Ahmad mengatakan bahwa tawakal adalah
amalan hati yaitu ibadah hati semata (Madarijus Salikin,
Ibnul Qayyim, 2/96). Sedangkan setiap ibadah wajib ditujukan kepada Allah
semata. Barang siapa yang menujukan satu ibadah saja kepada selain Allah maka
berarti dia telah terjatuh dalam kesyirikan. Begitu juga apabila seseorang
bertawakal dengan menyandarkan hati kepada selain Allah -yaitu sebab yang
dilakukan-, maka hal ini juga termasuk kesyirikan.
Tawakal semacam ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang dapat mengeluarkan
seseorang dari Islam), apabila dia bertawakal (bersandar) pada makhluk pada suatu
perkara yang tidak mampu untuk melakukannya kecuali Allah ta’ala. Seperti bersandar pada makhluk agar
dosa-dosanya diampuni, atau untuk memperoleh kebaikan di akhirat, atau untuk
segera memperoleh anak sebagaimana yang dilakukan oleh para penyembah kubur dan
wali.
Mereka menyandarkan hal semacam ini dengan
hati mereka, padahal tidak ada siapapun yang mampu mengabulkan hajat mereka
kecuali Allah ta’ala. Apa yang mereka lakukan
termasuk tawakal kepada selain Allah dalam hal yang tidak ada seorang makhluk pun
memenuhinya. Perbuatan semacam ini termasuk syirik akbar. Na’udzu billah min dzalik.
Sedangkan apabila seseorang bersandar pada
sebab yang sudah ditakdirkan (ditentukan) oleh Allah, namun dia menganggap
bahwa sebab itu bukan hanya sekedar sebab (lebih dari sebab semata), seperti
seseorang yang sangat bergantung pada majikannya dalam keberlangsungan hidupnya
atau masalah rezekinya, semacam ini termasuk syirik ashgor (syirik
kecil) karena kuatnya rasa ketergantungan pada sebab tersebut.
Tetapi apabila dia bersandar pada sebab dan
dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata sedangkan Allah-lah yang
menakdirkan dan menentukan hasilnya, hal ini tidaklah mengapa. (Lihat At Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, 375-376; Syarh Tsalatsatil Ushul, 38; Al Qoulul Mufid, 2/29)
Penutup
Ingatlah bahwa tawakal bukan hanya untuk
meraih kepentingan dunia saja. Tawakal bukan hanya untuk meraih manfaat duniawi
atau menolak bahaya dalam urusan dunia. Namun hendaknya seseorang juga
bertawakal dalam urusan akhiratnya, untuk meraih apa yang Allah ridhai dan
cintai. Maka hendaknya seseorang juga bertawakal agar bagaimana bisa teguh
dalam keimanan, dalam dakwah, dan jihad fii sabilillah.
Ibnul Qayyim dalam Al Fawa’id mengatakan bahwa tawakal yang paling
agung adalah tawakal untuk mendapatkan hidayah, tetap teguh di atas tauhid dan
tetap teguh dalam mencontoh/mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam serta berjihad melawan ahli bathil (pejuang
kebatilan). Dan beliau rahimahullah mengatakan
bahwa inilah tawakal para rasul dan pengikut rasul yang utama.
Kami tutup pembahasan kali ini dengan
menyampaikan salah satu faedah tawakal. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Barang
siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan
memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang siapa yang
bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”
(QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3).
Al Qurtubi dalam Al Jami’ Liahkamil Qur’an mengatakan, “Barang siapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka
Allah akan mencukupi kebutuhannya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
membaca ayat ini kepada Abu Dzar. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepadanya, “Seandainya semua manusia mengambil nasihat ini, sungguh hal ini
akan mencukupi mereka.” Yaitu seandainya manusia betul-betul
bertakwa dan bertawakal, maka sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan
agama mereka. (Jami’ul Ulum wal Hikam, penjelasan
hadits no. 49).
Hanya Allah-lah yang mencukupi segala urusan
kami, tidak ada ilah yang berhak disembah
dengan hak kecuali Dia. Kepada Allah-lah kami bertawakal dan Dia-lah Rabb ‘Arsy
yang agung.
mantap saya menjadi berubah
BalasHapus